LAPORAN
BUKU
Khusyu’
Berbisik-bisik Dengan Allah
Oleh
Agus Mustofa
Diajukan
Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Terstruktur Mata Kuliah PAI
Disusun
oleh
Leni
Indriani
NIM 1103278
Dosen
Pembimbing : Saepul Anwar,
S.Pd.I.,M.AG.
PENDIDIKAN MATEMATIKA
FAKULTAS PENDIDIKAN MATEMATIKA
DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Budayakan
membaca !!! Mungkin itu adalah salah satu ungkapan persuasif yang mencoba
mempengaruhi kita untuk rajin membaca, tentunya membaca hal-hal yang positif
bukan negatif. Membaca bukan merupakan hal yang dapat dilakukan oleh kalangan
terpelajar saja, tetapi juga dapat dilakukan oleh setiap kalangan baik itu
seorang pedagang, buruh maupun balita yang kadang selalu mencoba untuk belajar
membaca meskipun mereka tidak tahu apa yang sedang mereka lakukan. Tapi
pertanyaannya sekarang, bagaimana kita dapat membudayakan kebiasaan membaca
pada diri kita sendiri, jangan dulu memikirkan bagaimana untuk menarik orang
lain agar gemar membaca tapi kita dahulu yang harus memulainya. Segudang
manfaat akan kita dapatkan dari membaca, misalnya hal-hal yang tidak kita
ketahui sebelumnya akan kita ketahui setelah membaca. Dalam hal ini perlu ada
sesuatu yang menarik dari sebuah bahan bacaan.
Begitu juga
dalam pemilihan buku ini, hal petama yang menarik hati saya untuk membeli dan
membacanya adalah membaca judul bukunya. Buku yang dikarang oleh Agus Mustofa
dengan judul “Khusyu’ Berbisik-bisik Dengan Allah” menurut saya, dalam pemilihan katanya sangat bagus,
judulnya unik membuat orang merasa ingin tahu apa yang dijelaskan dalam buku
ini. Coba saja kita bayangkan bagaimana cara kita untuk khusyu’ berbisik-bisik
dengan Allah, tidak masuk diakal tetapi memunculkan perasaan ingin tahu. Dalam
buku ini akan dijelaskan bagaiman seru dan khusyunya kita berbisik-bisik dengan
Allah SWT.
B. Identitas
Buku
Buku yang
berjudul “Khusyu’ Berbisik-bisik Dengan Allah” merupakan serial ke-26, sebuah
karya yang ditulis oleh Agus Mustofa dengan editornya Ruman dan desain cover
Icuk. Buku ini diterbitkan oleh PADMA press Padang Makhsyar dengan tebal buku
272 halaman.
C.
Fokus Buku
Buku
ini menjelaskan beberapa hal berikut :
·
Kekhusyu’an sangat terkait dengan perasaan
butuh dan tidak butuh, kesabaran, dan zhon.
·
Bagaimana shalat yang khusyu’ itu ?
·
Tujuan shalat bukanlah untuk mencapai
kekhusyu’an.
·
Makna Rukun Shalat
·
Bertemu Allah di dalam shalat berdampak
pada bertemu Allah di luar shalat.
BAB
II
KHUSYU’
BERBISIK-BISIK DENGAN ALLAH
OLEH AGUS MUSTOFA
I.
ISI
BUKU
A.
Kekhusyu’an
sangat Terkait dengan Perasaan Butuh dan Tidak Butuh, Kesabaran, dan Zhon.
Ada beberapa
point yang saling terkait dan mempengaruhi satu sama lain ketika seseorang
ingin memperoleh kekhusyu’an. Yang pertama, kekhusyu’an sangat terkait dengan
perasaan butuh dan tidak butuh. Seseorang yang sedang membutuhkan Allah,
ibadahnya akan menjadi khusyu’. Jika ia berdoa, doanya akan sangat khusyu’.
Jika ia berdzikir, dzikirnya juga khusyu’. Dan jika shalat, shalatnya pun pasti
khusyu’. Karena ia sedang butuh Allah.
Sebaliknya
khusyu’ akan sulit dicapai ketika seseorang merasa tidak sedang membutuhkan
Allah. Ibadahnya tidak berisi. Jika ia berdoa, doanya sekedar ikut-ikutan atau
hafalan tanpa paham maknanya. Jika ia berdzikir, ia sekedar mengucapkan kalimat
dzikir. Dan jika shalat, shalatnya pun dilakukan sekedar untuk menggugurkan
kewajiban. Dan dengan perasaan enggan serta malas. Dengan kata lain,
orang-orang yang shalatnya tidak bermuatan minta tolong kepada Allah akan
mengalami kesulitan dalam mencapai kekhusyu’an.
Perhatikanlah
bagaimana khusyu’nya shalat mereka yang sedang menghadapi masalah. Entah karena
persoalan ekonomi, entah karena persoalan rumah tangga, entah karena
pendidikan, dan lain sebagainya. Ketika mereka merasa sedang menghadapi masalah
besar, dan kemudian berharap pertolongan dari Allah, maka sungguh shalatnya
akan sedemikian khusyu’nya.
Boleh jadi ia
akan shalat sambil merintih dan berlinangan air mata. Badannya gemetar, mulutnya
komat-kamit, berbisik-bisik dalam kekhusyu’an yang begitu dalam. Di dalam
shalat ia khusyu’, saat berdzikir ia khusyu’, apalagi ketika berdoa, tak ada
lagi yang dihiraukannya, selain isi doanya. Seluruh perhatian dan harapannya
tertumpah dalam ibadah yang sedang dilakukannya.
Masalah adalah
antitesis dari solusi. Setiap masalah berpotensi memberikan penderitaan,
sedangkan solusi berpotensi memberikan kebahagiaan. Akan tetapi harus kita
ingat, bahwa tidak ada solusi tanpa didahului oleh masalah. Sebagaimana tidak
ada kebahagiaan, tanpa didahului oleh penderitaan. Jadi, jika ingin shalat Anda
khusyu’, persiapkanlah terlebih dahulu masalah yang ingin Anda curhatkan kepada
Allah di dalam shalat. Setelah memperoleh masalah, niatkanlah untuk meminta
pertolongan kepada Allah dengan shalat. Dengan cara itu, shalat Anda akan
mejadi doa yang mustajab. Tapi bukan berarti lantas kita mencar-cari masalah.
Karena sesungguhnya masalah sudah mengalir dan akan terus mengalir sepanjang
kehidupan kita.
Yang kedua, kekhusyu’an
sangat terkait dengan kesabaran. Hanya orang-orang yang sabarlah yang akan bisa
memperoleh kekhusyu’an sepenuhnya. Apakah yang dimaksud denga sabar itu ? Sabar
memiliki dua makna : tidak tergesa-gesa dan tahan uji. Orang yang melakukan
shalat dengan tergesa-gesa dijamin tidak akan bisa khusyu’. Shalat harus
dilakukan dalam kondisi tidak tergesa-gesa. Jika Anda mempunyai masalah yang
harus diselesaikan segera, Anda bisa memilih dua jalan. Pertama : selesaikanlah
masalah itu sampai tingkat tertentu sehingga Anda bisa melepaskan dengan hati
agak longgar. Atau yang kedua, berserahdirilah kepada Allah untuk mengikhlaskan
masalah itu ditinggal beberapa saat untuk shalat. Insya Allah, Dia akan
memberikan kelancaran dalam menyelesaikan masalah, setelahnya.
Jadi, kalau kita
ingin Allah selalu bersama kita, cara yang paling efektif adalah bersabar.
Sesungguhnya Allah selalu menyertai orang-orang yang sabar. Yaitu, orang-orang
yang tidak tergesa-gesa dalam berbuat, dan orang-orang yang tahan menghadapi
ujian. Karena itu tidak heran, kesabaran lantas menjadi salah satu point
penting dalam mencapai kekhusyu’an. Sabar adalah cara untuk mencapai
kekhusyu’an, karena dengan sabar itu Allah berjanji akan selalu mendampingi
kita dimana pun termasuk di dalam shalat.
Yang ketiga,
adalah prasangka alias zhon ~ alladziina yazhunnuna annahum mulaqu rabbihim wa
annahum ilaihi raji’un. Dalam ayat tersebut Allah memberikan definisi, bahwa
orang yang khusyu’ adalah orang yang meyakini alias memiliki prasangka baik
akan bertemu Allah dalam ibadahnya maupun kelak ketika kembali kepada-Nya.
Prasangka baik
alias keyakinan inilah yang akan mengendalikan perasaan seseorang yang sedang
shalat. Jika perasaannya negatif dan ragu-ragu, maka ia akan sulit untuk
khusyu’ di dalam shalatnya. Apalagi tidak mempunyai keyakinan, dia tidak akan
bisa khusyu’. Artinya, dia tidak peduli apakah di dalam shalatnya akan bertemu
Allah atau tidak. Itulah yang disebut sebagai lalai dalam menjalankan ibadah.
Ia tidak menyengaja berbuat ibadah. Ibadahnya asal-asalan. Menggelinding apa
adanya. Tidak pernah dievaluasi. Tidak pernah ada keinginan untuk meningkatkan.
Tidak dipedulikan. Yang penting sudah menjalankan, meskipun ia tidak tahu apa
yang sedang dijalankan. Dan manfaat apa yang ada di dalamnya. Jadi, kekhusyu’an
sangat terkait erat dengan kesengajaan hati untuk mengingat Allah. Menyebut
Nama-Nya sebanyak-banyaknya. Dan tidak lalai dalam menjalankannya.
B.
Bagaimana
shalat yang khusyu itu ?
Shalat
dapat dikatakan khusyu’ jika memenuhi syarat-syarat berikut.
Bukan
menyempit tapi meluas. Shalat yang khusyu’ adalah shalat yang
fokus. Fokus kepada siapa? Tentunya kepada Allah, tetapi kita sering bingung
dengan kata fokus, apakah fokus kepada
Allah itu bermakna kita harus fokus menghadap kiblat? Tetapi sebenarnya kemanapun
kita menghadap kita sedang berhadapan dengan Allah.
Allah
menegaskan dalam surat Al Baqarah ayat 115 dengan kalimat : timur dan barat
milik Allah, kemanapun menghadap kita sedang berhadapan dengan Allah. Jadi
menghadap Allah itu tidak membedakan antara timur dan barat, ataupun utara
selatan. Kemana pun kita menghadap, kita sedang berhadapan dengan Allah. Karena
memang Allah adalah Dzat yang Maha Luas, Maha Besar, meliputi segala sesuatu.
Sebenarnya,
untuk menghadap-Nya, Allah tidak pernah memerintahkan kita untuk menghadap
Kiblat. Artinya tidak ada korelasi langsung antara menghadap Allah dengan
menghadap kiblat, meskipun shalat kita diperintahkan untuk menghadap kiblat
atau masjidil Haram. Bahkan sebenarnya perintah berkiblat itu bukan kepada
Ka’bah melainkan kepada masjidil Haram contohnya seperti yang dijelaskan dalam
Al Baqarah ayat 142-145.
Salah
besar kalau ada yang mempersepsikan, bahwa Allah berada di kiblat. Dan tidak
menghadap Allah kalau tidak menghadap kiblat. Orang yang berpendapat seperti
itu telah mengecilkan Dzat Allah Yang Maha Besar, Dzat yang Maha Meliputi alam
semesta raya yang demikian luas. Maka menghadap Allah tidak sekedar
menghadapkan wajah kita kepda sesuatu yang sempit, melainkan menghadap kepada
Sesuatu yang Luas. Sangat Luas. Bahkan Maha Luas. Ke segala penjuru alam
semesta. Meskipun, badan kita berkiblat ke arah masjid al Haram. Menghadap
Allah, bukanlah fokus kepada sesuatu yang memusat, melainkan fokus kepada
Sesuatu yang meliputi Jagad Semesta Raya.
Bukan
tegang tapi rileks. Semakin tegang seseorang dalam
melakukan ibadah, semakin sulit untuk khusyu’. Sebaliknya semakin rileks,
semakin mudah untuk memperoleh kekhusyu’an.
Kenapa
bisa demikian ? karena khusyu’ sangat terkait dengan suasana rileks. Semakin
tinggi tingkat kekhusyu’an seseorang, semakin rileks juga orang itu. Secara
fisikal maupun kejiwaan. Rileks badannya, rileks pula jiwanya. Semakin khusyu’
seseorang, semakin rileks hasilnya. Maka kekhusyu’an selalu seiring dengan
proses relaksasi dalam diri seseorang. Efek shalat yang khusyu’ adalah
munculnya rasa tentram. Rasa tentram akan memicu munculnya rasa rileks yang
terpantau pada kendornya saraf-saraf dalam tubuh kita. Bukan kendor yang malas,
melainkan kendor yang aktif dan terjaga.
Bukan
menghapal tapi memahami. Jangan menjalani shalat dengan
hapalan. Lakukanlah dengan kepahaman. Bukan menghapal di luar kepala melainkan
memahami di dalam kepala. Dan kemudian merasakan kepahaman itu dengan hati.
Inilah salah satu kunci utama yang akan mengantarkan seseorang pada kekhusyu’an.
Kesalahan
besar yang kita lakukan dalam proses pembelajaran shalat adalah memulai dengan
hafalan, baru kemudian berusaha memahaminya. Terbalik, mestinya memahami dulu
baru kemudian menghafalnya. Cara yang terbalik itu menyebabkan kita tidak bisa
merasakan khusyu’nya shalat yang sedang dijalani.
Terkait
dengan proses pemahaman Allah menggunakan istilah yafqahun, ya’qilun, ya’lamun,
dan yatafakkarun. Semua memiliki nuansa yang searah, yaitu memahami,
memikirkan, dan mempelajari sampai mengerti. Sensor utama untuk menuju
kepahaman ada tiga, yaitu : mata, telinga dan hati. Otak untuk berpikir, dan
hati untuk merasakan. Perpaduan antara keduanya itulah yang disebut sebagai
berakal, yang di dalam Al Quran disebut sebagai ulul albab, yaitu orang yang
menggunakan hatinya untuk merasakan kehadiran Allah (dzikrullah) dan
menggunakan pikirannya untuk menganalisa ciptaan-ciptaan-Nya.
Bukan
badan tapi jiwa. Shalat bukanlah gerak badan. Meskipun
ia memiliki efek kesehatan bagi pelakunya. Sasaran utamanya adalah pada proses
penyempurnaan jiwa.
Kekhusyu’an
adalah kondisi kejiwaan bukan kondisi badaniah. Bisa saja orang yang kelihatan
shalat tetapi jiwanya tidak shalat. Tidak heran ada orang yang kelihatan
shalat, tetapi masih diancam neraka oleh Allah. Karena dia hanya menjalaninya
sebagai olahraga bukan olahjiwa. Berdampak pada badan tetapi tidak berdampak
pada jiwa.
Bukan
statis tapi dinamis. Banyak diantara kita yang melakukan
shalat dengan mengikuti prinsip meditasi. Diam mengosongkan pikiran dan
menghambarkan perasaan. Shalat itu berbeda dengan meditasi. Shalat tidak statis
tapi dinamis. Bergerak terus baik secara fisikal maupun psikis. Badaniah maupun
kejiwaan. Seperti yang telah dijelaskan bahwa inti dari jiwa shalat adalah
interaksi dengan Allah SWT, berubah terus mengikuti proses interaksi yang
sedang berlangsung. Ketika shalat kita harus mengisi pikiran dan perasaan
dengan kepahaman atas apa yang sedang dilakukan.
Bukan
sebagian tapi totalitas. Shalat adalah totalitas seorang
hamba di hadapan Tuhannya. Ada enam variabel kekhusyu’an yaitu, niat, usaha,
ikhlas, sabar, istiqomah, kepahaman. Semua itu sangat menentukan seberapa
tinggi tingkat kekhusyu’an yang akan diperoleh. Apabila enam variabel tersebut
semakin kuat, maka semakin tinggi pula tingkat kekhusyu’annya.
C.
Tujuan
shalat bukanlah untuk mencapai kekhusyu’an.
Tujuan
shalat bukanlah untuk mencapai kekhusyu’an melainkan untuk berinteraksi dengan
Allah, khusyu’ hanyalah tanda atas tingginya kualitas ibadah yang sedang
dijalani oleh seseorang. Tanpa akhlak yang baik, shalat dengan kepahaman yang
mendalam pun tidak ada gunanya. Karena sesungguhnya yang kita kejar bukanlah
benar tidaknya tata cara shalat, ataupun khusyu’ dan tidaknya shalat itu
sendiri, melainkan apakah kita telah berinteraksi dengan Allah sebagai Tuhan
kita selama shalat.
Jadi
apakah sebenarnya tujuan shalat yang diwajibkan Allah kepada kita itu? Yang
utama, ada dua, yaitu : berdzikir dan berdoa. Selebihnya adalah sekedar manfaat
tambahan atau efek saja dari shalat yang kita jalankan. Dalam surat Thaahaa
ayat 14 yang artinya “ Sesungguhnya Aku adalah Allah, tidak ada Tuhan selain
Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku. Berdasarkan
ayat tersebut sangat jelas menggambarkan bahwa tujuan shalat adalah untuk
mengingat Allah. Berdzikir kepada-Nya. Ayat tersebut menceritakan kisah nabi
Musa saat menerima wahyu di lembah Thuwa. Akan tetapi, bukan berarti perintah
itu hanya turun kepada nabi Musa, ada dua alasan yang mendasarinya. Yang
pertama, ternyata perintah shalat bukan hanya diberikan kepada nabi Muhammad.
Para nabi sebelumnya pun diperintahkan untuk mendirikan shalat sepanjang
hidupnya. Dan yang kedua, perintah shalat yang diturunkan kepada nabi Musa itu
diwahyukan lagi kepada nabi Muhammad. Dan diabadikan di dalam Al Quran sebagai
petunjuk untuk umatnya nabi Muhammad. Maka, perintah shalat sebagai tata cara
berdzikir kepada Allah itu pun berlaku untuk umat nabi Muhammad. Bahwa tidak
ada Tuhan lain selain Allah. Bahwa menyembah itu hanya kepada Allah. Dan cara
menyembah yang paling afdhol adalah dengan mendirikan shalat. Karena lewat
shalat itulah kita berinteraksi dengan Allah dalam makna yang sedalam-dalamnya.
Tujuan
yang pertama adalah dzikir. Dzikir yang dimaksud disini tentu bukanlah dzikir
yang sekedar membaca kalimat dzikir : astagfirullah, subhanallah,
alhamdulillah, Allahu akbar, dan laa ilaaha illallah., tanpa mengerti maknanya.
Melainkan, justru meresapnya makna kalimat-kalimat tersebut ke dalam sanubari
yang paling dalam. Dzikir yang menggetarkan hati dan seluruh sendi-sendi
jiwanya.
Itulah
salah satu tujuan shalat yang paling utama, sebagai media untuk menyambungkan
jiwa kita dengan Sang Pencipta. Maka, shalat yang khusyu’ adalah shalat yang
bisa memunculkan suasana dzikrullah dalam arti yang sebenar-benarnya.
Sebaliknya, shalat yang tidak khusyu’ adalah shalat yang lupa Allah, padahal ia
sedang berhadapan dengan-Nya. Shalat yang lalai!
Tujuan
shalat yang kedua, adalah sebagai media untuk mohon pertolongan kepada Allah,
Sang Penguasa segala peristiwa. Di dalam shalat itulah kita melakukan curhat
kepada-Nya. Mencurahkan seluruh isi hati dan permasalahan hidup yang sedang
kita hadapi. Mulai dari persoalan pribadi, keluarga, sampai pada umat. Jadi,
kalau Anda ingin mencapai kekhusyuan – bertemu dengan Allah dalam shalat,
sebenarnya sangat mudah : jadikanlah shalat Anda sebagai media untuk curhat
kepada Allah. Mengadukan semua masalah dan persoalan hidup.
Shalat
adalah media untuk melakukan dialog dengan Allah, memohon pertolongan. Maka di
dalam shalat itu benar-benar bisa terjadi dialog antar seorang hamba dengan
Allah. Sang Pencipta berkata-kata kepada makhluk. Ada yang secara langsung. Ada
yang lewat wahyu yang dibawa malaikat jibril, atau di balik tabir.
Yang
demikian, juga terjadi pada Rasullullah SAW. Saat itu beliau shalat berjamaah
bersama para sahabat di Madinah. Kemudian, turunlah wahyu untuk memindahkan
arah kiblat dari semula ke Baitul Maqdis di Palestina, menjadi ke arah Masjid
al Haram di Mekkah.
Maka,
shalat kita pun harus demikian adanya. Shalat yang berdialog dengan Allah.
Bukan shalat yang hafalan, tetapi shalat yang kepahaman. Shalat yang bisa
merasakan kehadiran-Nya sebagai Tuhan yang Menyayangi dan Mengasihi hamba-Nya.
Tuhan yang selalu memberikan jalan keluar atas berbagai persoalan yang dihadapi
oleh makhluk-Nya.
D.
Makna
rukun shalat.
Beberapa
manfaat yang akan kita dapatkan dari setiap hal yang kita lakukan untuk
melakukan shalat. Wudlu menyiapkan jiwa.
Allah mengajari kita untuk ber-taharah, mensucikan jiwa, mengharumkan akhlak,
dan meneguhkan iman serta pakaian takwa. Karena sesungguhnyalah bertaharah –
berwudlu atau bertayamum – bukan bertujuan membersihkan badan, melainkan lebih
kepada mensucikan jiwa agar bisa bertemu dengan Dzat yang Maha Suci. Kenapa
disuruh taharah alias bersuci ? karena kita akan membaca firman-firman-Nya di
dalam shalat untuk berdialog dengan-Nya. Menurut Al Quran, tidak akan bisa
bersentuhan dengan makna Al Quran, kecuali orang-orang yang jiwanya sudah
disucikan (muttahhirin).
Ketika
kita akan melakukan shalat maka hal yang akan kita lakukan adalah berwudlu.
Berwudlu adalah suatu aktifitas untuk menyiapkan batin orang yang akan shalat.
Meskipun berwudlu memiliki efek kesehatan karena adanya terapi air terhadap ujung-ujung
saraf tubuh, tetapi yang lebih utama sebenarnya adalah efek kejiwaan berupa
komitmen untuk mensucikan diri. Efek terapi air dengan dibasuhnya kepala, muka,
telinga, tangan, sampai ujung kaki dengan air, akan terjadi proses keseimbangan
suhu di seluruh tubuh. Maka dengan berwudlu suhu anggota-anggota badan akan
menjadi seimbang kembali.
Akan
tetapi, ketika Anda tidak menemukan air, Anda boleh menggantikan dengan
tayamum. Mengusap muka dan tangan dengan tanah yang baik, dalam bentuk debu
tipis. Tentu tidak terjadi efek terapi air disini, tetapi secara kejiwaan tetap
terjadi proses komitmen untuk mensucikan diri. Jiwa lebih tenang dan siap untuk
menghadap Sang Maha Suci.
Niat
menentukan kualitas. Niat adalah pintu gerbang paling depan
untuk menuju pertemuan kita dengan Allah di dalam shalat. Niat yang lemah,
menghasilkan kemauan yang lemah pula untuk mencapai tujuan. Dan ini menjadi
salah satu sifat dasar manusia yang dimiliki oleh kakek moyang kita, nabi Adam.
Sifat lainnya suka tergesa-gesa, tidak sabar, dan sebagainya. Begitulah
manusia, karena itu Allah berpesan barang siapa yang mau shalat agar menguatkan
niat. Menjalaninya dengan sabar.
Jadi
niat adalah pekerjaan jiwa. Maka, mulailah niat dengan memikirkan terlebih
dahulu secara sengaja niat Anda menjalani shalat. Mungkin saja setiap kali
shalat berubah niat, sesuai kebutuhan.
Orang-orang
yang memulai shalatnya dengan niat yang benar, kemudian berusaha mempertahankan
niat itu sampai akhir shalatnya, disertai kesabaran, keikhlasan, dan istiqomah,
dia sudah memperoleh 5 bagian dari 6 bagian variabel yang menentukan
kekhusyu’an shalat. Selebihnya dia tinggal mengusahakan variabel keenam, yaitu
pemahaman yang menjadi kesempurnaan kualitas sembahyangnya.
Takbir
menghancurkan kesombongan. Bacaan takbir sesungguhnya
mengepung shalat yang kita lakukan, agar kita ingat bahwa kita sedang menghadap
dzat Yang Maha Besar. Agar kita tahu diri dan rendah hati. Agar kita tidak
takabur dan segera menghancurkan kesombongan. Ada dua jenis kesombongan yang
dilarang Allah, yaitu, kesombongan kepada manusia dan kesombongan kepada Allah.
Kesombongan
jenis pertama terkait dengan sifat angkuh kepada sesama. Merasa dirinya lebih
baik, lebih terhormat, lebih kaya, lebih pintar, dan sebagainya. Allah tidak
suka kepada orang-orang yang angkuh dan membanggakan diri. Sedangkan
kesombongan jenis kedua terkait dengan Allah. Allah menyebutnya sebagai
orang-orang kafir atau para pendusta agama dan penentang ayat-ayat Allah.
Kedua-duanya tidak pantas masuk surga, dan tempatnya adalah neraka. Berdasarkan
Al Quran kesombongan itu termasuk kategori kejahatan. Oleh karena itu kalimat
takbir yang dibaca berulang-ulang di dalam shalat adalah kalimat yang dapat
melenyapkan kesombongan, jika kita menghayatinya.
Iftitah
berserah diri kepada-Nya. Doa iftitah itu mengantarkan kita
untuk larut dalam kepasrahan, kepasrahan total. Pikiran dan hatinya, beserta seluruh kesadaran jiwanya telah lebur
menjadi satu. Al-Fatihah induk segala
cahaya. Firman Allah adalah cahaya. Ayat-ayat yang terhampar di alam
semesta adalah cahaya-Nya. Kalimat-kalimat dalam kitab suci adalah cahaya-Nya.
Ruh juga cahaya-Nya. Jiwa pun adalah cahaya-Nya. Sel-sel dengan segala
penyusunnya tak lain adalah cahaya. Dan seluruh realitas alam semesta pun
cahaya-Nya. Al Fatihah adalah induk dari segala cahaya yang bertaburan di dalam
Al Quran.
Al-Fatihah
merupakan surat yang wajib dibaca ketika kita melakukan shalat. Secara
struktural surat Al-Fatihah menunjukkan kaidah pencapaian tujuan hidup yang
komprehensif dan menjadi pola umum petunjuk di dalam Al-Quran.
Tunduk
tersungkur karena firman-Nya. Orang yang beriman
adalah orang yang bergetar hatinya ketika ingat Allah, dan tunduk tersungkur
ketika dibacakan ayat-ayatnya. Inti filosofi dari tata cara ibadah shalat di
dalam islam adalah tertumpu kepada dua hal yaitu, membaca firman-firman-Nya
dalam Al-Quran dan kemudian dilanjutkan dengan bertasbih sebanyak-banyaknya
memuji keagungan Allah di dalam ruku dan sujud.
Salam
hormat penuh berkah. Segmen pertama bacaan attahiyat adalah
berisi salam. Segmen keduanya berisi komitmen meneguhkan syahadat dan segmen
ketiganya adalah ungkapan terima kasih serta doa untuk beliau-beliau para rosul
Allah yang sangat berjasa menyampaikan risalah kepada kita. Salam adalah batas
terakhir sembahyang kita.
E.
Bertemu
Allah di dalam shalat berdampak pada bertemu Allah di luar shalat.
Ternyata
shalat tidak selalu bisa menghindarkan seseorang dari siksa api neraka. Allah
masih mengancam orang-orang yang shalat dengan siksa neraka. Kenapa? Karena
meskipun shalat, ia masih juga melakukan kejahatan. Nilai-nilai shalatnya tidak
terefleksi dalam perilakunya sehari-hari.
Dia
telah menjadikan shalat sekadar sebagai tujuan ibadah. Dia lupa bahwa shalat
bukan tujuan, melainkan cara dan untuk mencapai kualitas keimanan yang lebih
tinggi. Orang yang menjadikan shalat sebagai tujuan, akan merasa puas ketika
sudah menjalankan shalat, meskipun kualitasnya tidak jelas. Tetapi, orang yang
menjadikan shalat sebagai media dan cara untuk mencapai kualitas yang lebih
baik, ia akan terus menerus memperbaiki kekhusyu’an shalatnya.
Dengan
kata lain, shalat kita dikatakan sudah baik dan berhasil jika di luar shalat
tidak lagi berbuat keji dan munkar. Tidak berbohong, tidak menipu, tidak
korupsi, tidak berzina, tidak mencuri, tidak membunuh tanpa alasan yang
dibenarkan, tidak melakukan hal-hal yang merugikan diri sendiri maupun
orang-orang di sekitarnya. Sebaliknya jika shalatnya masih belum bisa
mencegahnya dari perbuatan keji dan munkar, berarti shalatnya masih lalai.
Orang semacam inilah yang diancam dengan neraka itu.
Berikut
ini adalah efek positif sebagai parameter kekhusyu’an shalat seseorang :
·
Lebih waspada. Selalu menjaga pikiran,
hati, ucapan, penglihatan, pendengaran, dan seluruh perbuatannya dari hal-hal
yang mengotori jiwa. Ini adalah efek wudhu yang benar.
·
Tawadhu. Bersikap rendah hati, tidak
angkuh, tidak sombong, menghargai orang lain, berpikiran terbuka, bahwa di atas
dirinya selalu ada yang lebih tinggi, lebih besar, lebih pintar, lebih kaya,
lebih berkuasa, lebih hebat, dan sebagainya. Ini efek dari kalimat takbir.
·
Bersifat Pemurah dan Penyayang kepada
siapa saja, sebagai efek dari Ar Rahman dan Ar Rahim yang terus menerus
dihayati dalam shalat.
·
Suka bersyukur kepada Allah, dan
mensyukuri apa saja yang dianugerahkan Allah kepadanya, sebagai efek kalimat
hamdalah di surat Al Fatihah.
·
Perilakunya terkontrol. Ia sudah
terbiasa merasakan dekat dengan Allah. Inilah efek dari kalimat Maliki
yaumiddin ~ Raja di Hari Pengadilan.
·
Mantap dalam melangkah menyusuri
kehidupan, karena begitu yakin Allah adalah Dzat yang selalu membimbingnya di
atas jalan yang lurus ~ shirathal mustaqim. Jalan yang akan mengantarnya sampai
kepada kebahagiaan hakiki, Allah Azza Wajalla. Bukan jalannya mereka yang
dimurkai atau pun yang tersesat.
·
Terbiasa mengagumi kehebatan dan
kekuasaan Allah di alam sekitarnya. Efek dari bacaan tasbih, rukuk dan sujudnya
yang khusyu’.
·
Sangat menghormati Rasulullah SAW,
beserta nabi-nabi sebelumnya, dan nabi Ibrahim sebagai bapak para nabi. Juga
keluarga beliau, berteladan dan berkomitmen untuk menegakkan syahadat dalam
hidupnya. Hanya bertuhan kepada Allah saja, dan berteladan kepada Rasulullah
dalam setiap langkah perbuatannya. Inilah efek penghayatan tasyahud.
·
Suka menebar salam kepada siapa saja di
sekitarnya. Berkomitmen untuk menebarkan kehidupan yang damai dan sejahtera
dalam Ridha Allah ~ rahmatan lil alamin.
Tentu
saja orang yang sudah memiliki sikap demikian ini adalah orang yang terhindar
dari perbuatan keji dan munkar dan selalu membawa manfaat bagi siapa saja. Itulah
orang-orang yang sudah menegakkan shalat dalam hidupnya. Shalat yang
sesungguhnya. Bukan shalat yang sekedar memenuhi kewajiban mereka. Tapi shalat
yang penuh makna.
Maka
sangat jelas, bahwa kekhusyu’an bukan hanya interaksi dengan Allah di dalam
shalat, melainkan juga terkait erat dengan sikap di luar shalat. Maka, itulah
refleksi shalat yang paling mendasar yang harus kita peroleh, khusyu’ di dalam
shalat berakibat pada kekhusyu’an di luar shalat.
Orang
yang tidak khusyu’ di dalam shalat, dan lantas juga tidak khusyu’ di luar
shalat, akan sulit terhindar dari perbuatan keji dan munkar. Dia tidak memiliki
kontrol diri yang bagus karena tidak disandarkan kepada Yang Maha Mengetahui
dan Maha Berkuasa. Sandarannya hanya manusia yang gampang dibohongi atau kepentingan
dan pamrih-pamrih jangka pendek belaka.
II.
KESIMPULAN
Kekhusyu’an
dapat diperoleh dengan jalan apa saja. Hal tersebut tergantung pada diri
masing-masing setiap manusia. Ketika dia benar-benar ingin mendekatkan diri
kepada Allah, maka akan dengan sangat mudah dia mendapat kekhusyu’an. Tetapi
ketika dia hanya menjalankan suatu ibadah hanya untuk sekedar melakukan
kewajiban tanpa didasari dengan niat yang baik dan tulus maka dia tidak akan
mendapatkan kekhusyu’an dalam ibadahnya.
Istilah
khusyu’ memang tidak hanya dikaitkan
dengan shalat saja, tetapi bisa kita jadikan salah satu contoh bagaimana
kita mendapatkan kekhusyu’an dalam ibadah. Untuk mendapat kekhusyu’an dalam
shalat ada beberapa syarat yang harus dipenuhi, jika syarat-syarat tersebut
sudah terpenuhi maka shalat kita dapat dikatakan khusyu’. Intinya ketika kita
shalat maka tidak ada lagi yang menjadi pusat perhatian kita selain pikiran
kita tertuju pada Allah SWT. Tidak hanya badaniah tetapi juga bathiniah kita
harus tertuju kepada Sang Pencipta.
Sangat
disayangkan jika kita melakukan shalat hanya sekedar untuk menggugurkan
kewajiban saja. Tidak ada yang kita dapatkan ketika shalat ataupun setelah
shalat. Seharusnya ketika kita akan memulai shalat kita harus meluruskan
tujuan, jangan sampai kita shalat tetapi kita tidak memiliki tujuan yang benar.
Bukan hanya kekhusyu’an yang kita cari tetapi yang paling utama yang harus kita
dapatkan dalam shalat adalah interaksi kita dengan Allah SWT, apakah itu dengan
berdzikir ataupun berdo’a.
Pernahkah
kita menyadari bahwa setiap apa yang kita lakukan itu memiliki makna
tersendiri. Begitu juga di dalam wudlu dan shalat, semuanya memiliki makna yang
banyak orang tidak tahu apa maknanya. Tentunya kita harus memahaminya karena
hal tersebut dapat membantu kita untuk khusyu’ di dalam shalat.
Sudah
dijelaskan sebelumnya bahwa tujuan kita shalat adalah untuk berinteraksi dengan
Allah SWT. Kita tidak cukup hanya bertemu dan berinteraksi di dalam shalat
saja, di luar shalat pun kita harus senantiasa bertemu dan berinteraksi dengan
Allah, maksudnya kita harus senantiasa mengingat Allah diman pun kita berada
agar bersih dari segala perbuatan yang dibenci oleh Allah SWT. Itulah dampak
yang harus kita dapatkan ketika kita mencoba khusyu di dalam shalat maka di
luar shalat pun kita harus khusyu.
BAB
III
ANALISIS
A.
Kekhusyuan
sangat Terkait dengan Perasaan Butuh dan Tidak Butuh, Kesabaran, dan Zhon.
Memang benar
bahwa kekhusyuan itu sangat terkait erat dengan perasaan butuh dan tidak butuh,
kesabaran serta zhon. Sesuai dengan firman Allah SWT dalam surat Al-Baqarah
ayat 45 yang artinya ”Jadikanlah sabar
dan shalat sebagai penolongmu, dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh
berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu’.” Hal ini tidak bisa kita pungkiri
karena kita juga pasti akan mengalaminya dalam kehidupan sehari-hari. Coba saja
kita ingat kembali, ketika kita membutuhkan Allah maka tanpa diingatkan kita
pasti ingat kepada Allah dan meminta pertolongan, tetapi ketika kita sudah
mendapatkan pertolongannya kita akan dengan mudah melupakan Allah kembali.
Kekhusyu’an
shalat tiap orang itu berbeda-beda, tergantung pada cara pandang dan tingkat
pengetahuannya tentang agama. Keterkaitan kekhusyuan dengan perasaan butuh dan
tidak butuh, kesabaran dan zhon maksudnya adalah bahwa kekhusyuan itu terkait
erat dengan pikiran dan hati manusia. Yang menjadi indikator seseorang khusyu
dalam shalat adalah berusaha sepenuh hatinya untuk berkonsentrasi dalam shalat.
Sahabat Ali bin Abi Thalib pun pernah di tes oleh Rasulullah SAW tentang
masalah kekhusyuan dalam shalat. Rasulullah menjanjikan akan memberikan surban
terbaiknya untuk Ali jika ia mampu shalat dengan khusyu’. Maka mulailah Ali
untuk shalat dan diperhatikan oleh Rasulullah. Ketika shalat, Rasulullah sempat
bertanya kepada Ali, apa warna surban yang diinginkan oleh Ali sebagai hadiah?
Tentu saja Ali tidak menjawabnya, karena ia sedang melaksanakan shalat. Namun,
setelah shalatnya selesai, Ali buru-buru menjawab pertanyaan Rasulullah dengan
menyebutkan warna surban pilihannya.
Dari
peristiwa diatas kita ketahui bahwa ketika shalat Ali sibuk memikirkan warna
surban apa yang menjadi pilihannya, dapat kita simpulkan bahwa Ali ketika
shalatnya tidak diliputi dengan kesabaran. Terlihat bahwa manusia sekelas Ali
bin Abi Thalib saja pernah kurang khusyu’ di dalam shalatnya, apalagi kita
sebagai manusia biasa. Namun setidaknya kita harus berusaha untuk khusyu’ di
dalam shalat. Meskipun pada kenyataannya untuk khusyu’ di dalam shalat itu
sangat sulit karena banyak sekali gangguan-gangguan diantaranya adalah godaan
setan. Diantara bentuk godaannya adalah memberikan perasaan was-was supaya
hilang kekhusyu’an orang yang shalat dan mengacaukan shalatnya. Setiap kali
seorang hamba ingin mendekatkan diri kepada Allah, maka setan selalu ingin
memotong jalan tersebut. Tetapi kita harus tetap sabar dan senantiasa berdzikir
kepada Allah, berdo’a agar terhindar dari godaan setan.
B.
Bagaimana
shalat yang khusyu itu ?
Khusyu’
selama sholat sering disalahartikan oleh sebagian besar orang dengan cara
menangis dan meratap. Al Qurthubi mengatakan bahwa khusyu’ adalah suasana di
dalam jiwa yang tertampakkan pada anggota tubuhnya berupa ketenangan dan
ketundukkan. Sedangkan Qatadah mengatakan bahwa khusyu’ di dalam hati berupa
rasa takut dan memejamkan mata ketika shalat. Dari kedua pendapat tersebut
dapat kita simpulkan bahwa kekhusyuan itu bukan hanya secara jasmaniah tetapi
juga harus didapatkan secara bathiniyah. Tetapi ada satu hal yang perlu di
bahas disini yaitu mengenai pendapat Qatadah bahwa khusyu’ itu adalah
memejamkan mata ketika shalat. Hal itu tidak dapat disalahkan karena pandangan
seseorang mengenai bagaimana khusyu’itu memang berbeda-beda, ada orang yang memang
ketika memejamkan mata dia bisa khusyu’ tetapi ada juga orang yang shalatnya
memejamkan mata malah sulit untuk khusyu’. Hal tersebut dikembalikan lagi
kepada keyakinan masing-masing.
Seperti yang
telah dijelaskan bahwa kekhusyu’an seseorang itu berbeda-beda, tergantung pada
cara pandang dan pengetahuannya tentang agama. Saya setuju dengan syarat-syarat
kekhusyu’an yang ada dalam buku tersebut. Apa yang dijelaskan dalam buku
tersebut sangat detail tentang bagaimana kriteria shalat yang khusyu’. Dari
Utsman berkata, ”Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda,”Tidaklah seorang muslim
mendatangi shalat wajib lalu membaguskan wudhu, khsuyu’ dan ruku’nya kecuali ia
menjadi pelebur dosa-dosanya yang lalu kecuali dosa besar. Dan itu berlaku
sepanjang masa.” (HR. Muslim). Dari hadist Rasulullah tersebut kita dapat
mengetahui mengenai keutamaan khusyu’ di dalam shalat yaitu menjadi pelebur
dosa-dosa yang telah kita lakukan, kecuali dosa-dosa besar. Maka apakah pantas
jika kita menyia-nyiakan kesempatan yang diberikan Allah kepada umat-Nya. Allah
memberikan segala keringanan dan menjadikan segala perbuatan yang diperintahkan
olehnya sebagai ibadah yang tak luput dari pahala.
Adapun level
shalat khusyu adalah sebagai berikut
Tetapi jangan
berusaha dengan cara yang menggebu-gebu untuk bisa khusyu’, karena keinginan
khusyu’ yang berlebihan itu merupakan hawa nafsu. Oleh karena itu hendaklah
setiap orang yang shalat memperhatikan hal-hal berikut agar khusyu’ di dalam
setiap shalatnya :
·
Tidak menghadirkan didalam hatinya kecuali
segala sesuatu yang ada didalam shalat.
·
Menundukkan anggota tubuhnya dengan tidak
memain-mainkan sesuatu dari anggota tubuhnya, seperti : jenggot atau sesuatu
yang diluar anggota tubuhnya, seperti : meratakan selendang atau sorbannya.
Hendaknya penampilan lahiriyahnya menampakkan kekhusyuan batiniyahnya.
·
Hendaklah merasakan bahwa dirinya tengah berdiri
dihadapan Raja dari seluruh raja Yang Maha Mengetahui segala yang tersimpan dan
tersembunyi.
·
Mentadabburi bacaan shalatnya karena hal itu
dapat menyempurnakan kekhusyu’an.
·
Mengosongkan hatinya dari segala kesibukan
selain shalat karena hal itu dapat membantunya untuk khusyu’ dan janganlah
memperpanjang atau melebarkan pembicaaan didalam hatinya.
Sebagai
manusia biasa, kita pasti masih kesulitan mengetahui bagaimana shalat yang
khusyu’ itu. Tetapi sebagai seorang muslim sudah sepantasnya jika kita
mencobanya dan membiasakannya dalam kehidupan sehari-hari.
C.
Tujuan
shalat bukanlah untuk mencapai kekhusyu’an.
Apa
yang ingin kita dapatkan di dalam shalat memang bukan hanya kekhusyu’an saja
tetapi melainkan interaksi kita dengan Allah SWT untuk lebih mendekatkan diri
kepada-Nya agar dapat mengadukan segala keluh kesah yang kita alami dalam
menjalani kehidupan. Dalam surat Thaha ayat 14 menyebutkan, “Sesungguhnya Aku
ini Allah tidak ada illah melainkan Aku, maka berbaktilah kepada-Ku dan
dirikanlah sholat untuk mengingat Allah”. Jelaslah bahwa tujuan Allah SWT
memerintahkan shalat adalah untuk mengingat Allah, baik mengingat zat-Nya,
sifat-sifat-Nya dan lain sebagainya. Dalam sebuah
hadist Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya kalian apabila sholat maka
sesungguhnya ia sedang bermunajat (bertemu) dengan Tuhannya, maka hendaknya ia
mengerti bagaimana bermunajat dengan Tuhan”.
Jadi
apakah shalat yang benar tanpa mengingat Allah SWT dapat dikatakan khusyu’?
Tentu tidak, karena meskipun shalatnya benar tetapi tujuannya bukan untuk
mengingat Allah SWT maka shalatnya belum bisa dikatakan khusyu’. Seharusnya
sebelum shalat kita harus meniatkn diri untuk berinteraksi dengan Allah SWT
yang dalam artian adalah mengingat Allah SWT dalam shalatnya.
Tujuan
shalat juga dapat dikatakan untuk mendapatkan pemecahan masalah, dengan
berdzikir dan meminta pertolongan Allah di dalam shalat dengan sebaik-baiknya,
maka Allah akan senantiasa memberikan solusi untuk masalah yang kita hadapi.
Oleh karena itu dalam menghadapi masalah hendaknya kita tidak terlalu panik,
karena Allah pasti akan memberikan jalan keluar untuk hamba-Nya yang
benar-benar menginginkan pertolongan dari-Nya. Maka tidak terlalu sulit bagi
kita dalam menjalani kehidupan ini, meskipun diliputi dengan segudang masalah,
Allah tidak akan memeberikan kesulitan yang tidak dapat dipikul oleh umat-Nya.
Benar
apa yang ditulis oleh pengarang, bahwa jika kita ingin mendapatkan kekhusyu’an
dalam artian mengingat Allah di dalam shalat maka jadikanlah shalat kita
sebagai media untuk mencurahkan segala persoalan ataupun masalah yang sedang
kita hadapi. Jadikan shalat sebagi media untuk meminta pertolongan kepada Allah
SWT, karena dengan begitu kita akan merasakan kedekatan kita dengan Allah SWT.
Tetapi jangan sampai ketika kita sedang merasa bahagia terlepas dari
masalah-masalah, kita malah berbalik tidak mengingat Allah karena seharusnya
kita lebih meningkatkan keimanan kita dan bersyukur atas segala kenikmatan yang
telah diberikannya.
D.
Makna yang ada dalam rukun shalat.
Tidak hanya
bagaimana kita mendapatkan kekhusyu’an dalam shalat yang dijelaskan dalam buku
ini tetapi juga terdapat penjelasan mengenai faedah yang ada dalam rukun
shalat, meskipun tidak dijelaskan dengan begitu detail tetapi apa yang
pengarang terangkan adalah benar adanya bahwa dalam setiap rukun shalat yang
kita kerjakan tersimpan makna-makna yang sebelumnya tidak kita ketahui. Allah
SWT berfirman dalam surat An-Nisa ayat 103 yang menyebutkan “Maka apabila kamu
telah menyelesaikan shalat(mu), ingatlah Allah di waktu berdiri,
di waktu duduk dan di waktu berbaring. Kemudian apabila kamu telah merasa aman,
maka dirikanlah shalat itu (sebagaimana biasa). Sesungguhnya shalat itu adalah
fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman”.
Beberapa
faedah dalam gerakan shalat adalah, niat (melapangkan kubur), berdiri (tikar
dalam kubur), takbiratul ihram (penerangan dalam kubur), membaca fatihah
(pakaian yang indah dalam kubur), rukuk (kendaraan di padang mahsyar), i’tidal
(payung di padang mahsyar), sujud (air minum al-kautsar dalam kubur), duduk
antara dua sujud (menjawab pertanyaan munkar dan nakir), tahiyat awal (dinding
api neraka), tahiyat akhir (dinding titian sirotol mustaqim). Setelah kita
mengetahui faedah-faedah yang terdapat dalam rukun shalat, maka sudah
sepantasnya kita mendirikan shalat dengan sebaik-baiknya karena tidak ada
alasan lagi bagi kita untuk lalai dalam mengerjakan shalat. Rasulullah
menyebutkan bahwa “Hendaklah kamu memperbanyak sujud, sesungguhnya jika sujud satu saja
sujud karena Alloh niscaya Alloh mengangkatmu satu derajat dan
Alloh menghapus satu kesalahanmu.” (HR. Muslim).
Selain
itu, ada juga faedah lain mengenai ucapan dan gerakan shalat misalnya membaca
amin setelah Al-Fatihah. Hadist riwayat Bukhari menyebutkan “Jika imam mendatangkan
pahala besar. Rasulullah mengucapkan amin, maka ucapkanlah amin, karena siapa
yang ucapan aminnya bersamaan dengan aminnya para malaikat, akan diampuni
dosanya yang telah lalu”. Meletakkan
tangan kanan di atas tangan kiri di atas dada. Nabi jika shalat, beliau
meletakkan tangan kanannya di atas tangan kirinya. Keduanya beliau letakkan di
atas dada, hikmahnya sikap seperti ini adalah menunjukkan sikap orang yang
meminta dan hina. Selain itu, terjauh dari sikap bermain-main dan lebih dekat
pada kekhusyu’an. Kemudian memandang ke tempat sujud, “Aisyah r.a. meriwayatkan
bahwa jika shalat, beliau menundukkan kepalanya dan mengarahkan pandangannya ke
tanah. Adapun ketika tasyahud beliau memandang ke jari yang memberi isyarat dan
beliau menggerakkannya. Memberi isyarat dengan jar telunjuk mengingatkan
seorang hamba akan keesaan Allah dan ikhlas dalam ibadah. Begitulah sebagian
faedah yang ada di dalam maupun di luar shalat, semoga kita akan lebih
meningkatkan keimanan kita setelah mengetahuinya.
E.
Bertemu
Allah di dalam shalat berdampak pada bertemu Allah di luar shalat.
Saya sangat
setuju dengan apa yang dijelaskan pengarang dalam buku ini, orang yang khusyu’
di dalam shalat seharusnya juga khusyu’ di luar shalat. Maksudnya adalah ketika
kita mendekatkan diri kepada Allah di dalam shalat maka kita juga harus
mendekatkan diri di luar shalat. Orang yang sudah khusyu’ di dalam shalat
tetapi tidak berdampak di luar shalat, hal itu belum bisa kita katakan orang
tersebut sudah baik dan berhasil dalam melaksanakan shalatnya. Orang yang
seperti itu adalah orang yang mengerjakan shalat dengan khusyu’ tetapi di luar
shalat dia masih melakukan perbuatan keji dan munkar.
Nabi
Muhammad SAW dalam shalatnya benar-benar dijadikan keindahan dan terjadi
komunikasi yang penuh kerinduan dan keakraban dengan Allah. Ruku, sujudnya
panjang, terutama ketika shalat sendiri di malam hari, terkadang sampai kakinya
bengkak tapi bukannya berlebihan, karena ingin memberikan yang terbaik sebagai
rasa syukur terhadap Tuhannya. Shalatnya tepat pada waktunya dan yang paling
penting, shalatnya itu teraplikasi dalam kehidupan sehari-hari. Seharusnya orang
yang shalatnya khusyu’, harus menampilkan sikap-sikap yang baik contohnya,
sangat menjaga waktunya, dia terpelihara dari perbuatan dan perkataan sia-sia
apalagi maksiat, memiliki niat yang ikhlas, mencintai kebersihan, tertib dan
disiplin, selalu tenang dan tuma’ninah, tawadhu dan rendah hati, kemudian
tercegah dari perbuatan keji dan munkar. Dari uraian contoh tersebut dapat
disimpulkan bahwa jangan sampai kita hanya melaksanakan shalat, namun ternyata
kita hanya mengerjakannya dan belum sampai mendirikannya apalagi merasakan
manfaatnnya.
Orang
yang shalatnya khusyu’ tetapi masih melakukan perbuatan yang dibenci oleh Allah
maka orang tersebut masih diancam dengan neraka karena inti dari shalat yang
khusyu’ adalah akhlak menjadi baik, sebagaimana Rasulullah SAW menerima
perintah shalat dari Allah agar menjadikan akhlak yang baik. Oleh karena itu
agar ibadah yang kita lakukan dapat berdampak pada kehidupan dan kepribadian
maka harus dikerjakan dengan baik dan khusyu’. Maka shalat yang berdampak pada
kehidupan dan kepribadian adalah shalat yang dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan, dengan hati yang tulus dan ikhlas sebagai perwujudan dari kasih
sayang dan syukur kepada Allah SWT.
DAFTAR
PUSTAKA
Mustofa, Agus. . Khusyu’ Berbisik-bisik Dengan
Allah. Surabaya: PADMA press Padang Makhsyar.
Faktor keutamaan dalam shalat. Dalam https://pondokhati.wordpress.com/2011/03/01/tj-masalah-kekhusyuan-shalat-dan-tatoo/.
Diakses 8 Juni 2012 pukul 10.07Rengkodriders, Apa & Bagaimana Shalat Khusyu’ itu ? . Dalam http://rengkodriders.wordpress.com/2012/01/11/apa-bagaimana-shalat-khusyu-itu/. Diakses 8 Juni 2012 pukul 10.15
Keutamaan Shalat Fardhu, Faedah Rukun Shalat serta arti daripada tiap-tiap gerakan shalat. Dalam http://tausyah.wordpress.com. Diakses 8 Juni 2012 pukul 10.23
Tidak ada komentar:
Posting Komentar